Benny Tjokrosaputro: Arsitek Skandal Keuangan Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Posting Komentar


Jakarta — Di tengah dinamika dunia keuangan Indonesia, nama Benny Tjokrosaputro mencuat sebagai tokoh sentral dalam dua skandal keuangan terbesar negeri ini: Jiwasraya dan Asabri. Dengan kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp40 triliun, kasus ini tak hanya menelanjangi praktik manipulatif di balik layar, tetapi juga mengungkapkan rapuhnya sistem pengawasan keuangan Indonesia.

Benny “Bencok”: Dari Sanksi 1997 ke Manipulasi Triliunan Rupiah

Benny Tjokrosaputro, yang akrab disapa Bencok, bukanlah sosok baru di pasar modal. Sejak tahun 1997, ia sudah tersandung sanksi Bappepam karena praktik cornering saham Bank Pico menggunakan 13 rekening nomine. Denda sebesar Rp1 miliar waktu itu tampaknya tidak menjadi pelajaran berarti.

Sebagai direktur utama PT Hanson International, Benny kemudian dikenal sebagai pemain agresif dalam pasar properti dan saham. Bersama rekan-rekannya seperti Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto, Benny menyusun skema investasi fiktif dengan memanipulasi harga saham-saham “gorengan” seperti PJBR, PPRO, SMPR, dan SMRU. Saham-saham ini dijual ke Jiwasraya dan Asabri dengan harga di atas nilai wajar untuk menciptakan ilusi profitabilitas.

Membangun Fatamorgana Portofolio

Modus operandi Benny melibatkan jaringan kompleks menggunakan akun-akun nomine dari keluarga hingga staf perusahaan. Nama-nama seperti Oki Irwina Safitri, Teddy Tjokro, dan Ani Patricia Sutanto digunakan untuk menciptakan transaksi semu yang seolah menunjukkan permintaan tinggi di pasar.

Dengan kendali penuh atas pergerakan saham, Benny menciptakan portofolio seolah-olah menguntungkan, padahal secara fundamental perusahaan-perusahaan tersebut tengah sekarat. Ilusi ini begitu kuat, hingga pada 2018 Jiwasraya sempat dianugerahi sebagai produk investasi terbaik—hanya beberapa bulan sebelum gagal bayar senilai Rp12,4 triliun meledak.

Dana Rakyat Dikorbankan, Sistem Terkapar

Laporan keuangan Jiwasraya dimanipulasi untuk menutupi kerugian besar. Produk unggulan seperti JS Saving Plan menjanjikan imbal hasil tinggi namun dibangun di atas portofolio rapuh. Investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian negara sebesar Rp16,81 triliun dari Jiwasraya dan Rp22,78 triliun dari Asabri.

Skema yang dijalankan Benny dan Heru di Asabri nyaris serupa: saham-saham tidak layak seperti milik PT Trada Alam Minera, PT Inti Agri Resources, dan PT SMR Utama disalurkan ke portofolio Asabri melalui kolusi dengan pejabat internal.

Para pelaku memanfaatkan kendaraan investasi bodong seperti PT Baramega Persada dan PT Tekido Jasa Multiarta untuk merekayasa arus dana dan menciptakan lapisan-lapisan manipulasi yang sulit dideteksi.

Jaringan Dalam Bayang-Bayang

Nama Jimmy Sutopo muncul sebagai penghubung utama jaringan ini. Sebagai remiser dan pendiri komunitas Jakarta Investor Relation, Jimmy bertugas mencari pendanaan, meminjam nama untuk akun fiktif, serta menjual saham kepada Asabri atas perintah langsung Benny. Ia disebut menerima fee ratusan juta rupiah untuk jasanya, memperkuat jejak sistemik kejahatan ini.

Transaksi dilakukan melalui sekuritas-sekuritas tertentu yang dikendalikan oleh jaringan, menciptakan ilusi volume perdagangan yang tinggi padahal sepenuhnya direkayasa.

Vonis Seumur Hidup: Akhir atau Awal Babak Baru?

Pada 2021, Benny Tjokrosaputro dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Tuntutan jaksa sebenarnya jauh lebih berat: hukuman mati dan penyitaan seluruh aset. Namun, majelis hakim menilai bahwa hukuman maksimal berupa penjara seumur hidup lebih proporsional untuk kasus non-kekerasan.

Sebanyak 69 bidang tanah, properti, kendaraan, dan saham disita oleh Kejaksaan Agung. Sayangnya, proses lelang dan pengembalian aset kepada negara masih tersendat oleh sengketa hukum dan kendala administratif.

Rekan Benny, Heru Hidayat, juga divonis seumur hidup. Meski sempat divonis nihil dalam salah satu sidang karena telah mendapat hukuman maksimal, jaksa menyebut hal itu sebagai pelecehan terhadap akal sehat hukum.

Kritik Sistemik dan Trauma Kolektif

Kasus ini menggugah pertanyaan mendalam tentang peran lembaga pengawas seperti OJK. Bagaimana transaksi mencurigakan senilai triliunan rupiah bisa berlangsung selama lebih dari satu dekade tanpa intervensi berarti?

Pejabat OJK seperti Fahri Hilmi ikut terseret, diduga membiarkan praktik curang saat menjabat sebagai Deputi Komisioner Pasar Modal. Ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik yang tidak hanya disebabkan oleh pelaku utama, tetapi juga oleh pembiaran institusional.

Lebih dari Skandal: Ini Adalah Cermin Buram Sistem Kita

Skandal Jiwasraya dan Asabri bukan hanya tentang kerugian negara. Ini adalah cerita tentang bagaimana sistem bisa dirusak dari dalam, bagaimana laporan keuangan bisa dijadikan alat kamuflase, dan bagaimana citra pengusaha sukses bisa membungkus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.

Lebih menyakitkan, kasus ini menyasar dana pensiun masyarakat sipil dan abdi negara—dana yang seharusnya menjamin masa depan mereka.

Kini, setelah badai berlalu, kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah keadilan telah ditegakkan? Banyak pihak berpendapat bahwa hukuman seumur hidup belum cukup untuk menghapus trauma kolektif yang ditinggalkan.

Warisan Luka dan Pelajaran Berharga

Benny Tjokrosaputro adalah simbol dari kerusakan sistemik dalam industri keuangan. Warisan yang ditinggalkannya bukan hanya aset sitaan atau dokumen persidangan, melainkan keretakan kepercayaan terhadap institusi negara.

Lebih dari sekadar pengadilan, yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh: pengawasan ketat, transparansi investasi, dan akuntabilitas di semua level. Tanpa itu, kejahatan serupa hanya menunggu waktu untuk terulang

Related Posts

Posting Komentar

Advertisement